Kamis, 13 Februari 2014

I'JAZ AL -QUR'AN

  1. PENGERTIAN IJAZ QURAN DAN MUKJIZAT
  1. Pengertian i’jaz menurut bahasa:
Kata I’jaz adalah isim mashdar dari ‘ajaza-yu’jizu-i’jazan yang mempunyai arti “ketidakberdayaan atau keluputan” (naqid al-hazm). Kata i’jaz juga berarti “terwujudnya ketidakmampuan”, seperti dalam contoh: a’jaztu zaidan “aku mendapati Zaid tidak mampu".
  1. Pengertian i’jaz secara istilah:
    - Penampakan kebenaran pengklaiman kerasulan nabi Muhammad SAW dalam ketidakmampuan orang Arab untu menandingi mukjizat nabi yang abadi, yaitu al-Quran.

    - Perbuatan seseorang pengklaim bahwa ia menjalankan fungsi ilahiyah dengan cara melanggar ketentuan hukum alam dan membuat orang lain tidak mampu melakukannya dan bersaksi akan kebenaran klaimnya.
  2. Pengertian mukjizat:
Mukjizat adalah Sebuah perkara luar biasa (khoriqun lil ‘adah) yang disertai tantangan (untuk menirunya), yang Selamat dari pengingkaran, dan muncul pada diri seorang yang mengaku nabi menguatkan /menyesuaikan dakwahnya.

Catatan :
Dari pengertian mukjizat di atas, maka ada beberapa syarat disebut mukjizat,yaitu :
1) Hal yang di luar kebiasaan : seperti tongkat berubah ular, menghidupkan orang mati, dll.
2) Disertai Tantangan : untuk meniru, agar mereka yang ditantang merasa 'tidak mampu' untuk kemudian mengakui bahwa itu dari Allah SWT.
3) Selamat dari pengingkaran : artinya tantangan itu berupa sebuah tantangan yang layak bukan sesuatu yang tidak masuk akal. Misalnya : tantangan membuat Al-Quran untuk orang Arab yg berbahasa Arab, bukan untuk orang Jawa.
4) Muncul dari Nabi : untuk menguatkan risalah kenabiannya, jika bukan dari nabi biasa disebut dengan Karomah.
Dalam pengertian yang yang lain diuraikan di atas, dapatlah diketahui bahwa tujuan i’jazul Qur’an itu banyak, di antaranya yaitu :
1) Membuktikan bahwa Nabi Muhammad saw yang membawa mukjizat kitab Al-Qur’an itu adalah benar-benar seorang Nabi dan Rasul Allah. Beliau diutus untuk menyampaikan ajaran-ajaran Allah SWT kepada umat manusia dan untuk mencanangkan tantangan supaya menandingi al-Qur’an kepada mereka yang ingkar.
2) Membuktikan bahwa kitab al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu Allah SWT, bukan buatan malaikat Jibril dan bukan tulisan Nabi Muhammad saw. Sebab pada kenyataannya mereka tidak bisa membuat tandingan seperti al-Qur’an sehingga jelaslah bahwa al-Qur’an itu bukan buatan manusia.
3) Menunjukkan kelemahan mutu sastra dan balaghahnya bahasa manusia, karena terbukti pakar-pakar pujangga sastra dan seni bahasa Arab tidak ada yang mampu mendatangkan kitab tandingan yang sama seperti al-Qur’an, yang telah ditantangkan kepada mereka dalam berbagai tingkat dan bagian al-Qur’an.
4) Menunjukkan kelemahan daya upaya dan rekayasa umat manusia yang tidak sebanding dengan keangkuhan dan kesombongannya. Mereka ingkar tidak mau beriman dan sombong tidak mau menerima kitab suci itu.

B. Pengertian Mukjizat
Mukjizat secara etimologi diderivasi dari kata I’jaz yang berarti lemah atau tidak mampu. I’jaz merupakan mashdar (abstract noun) dari kata a’jaza yang berarti berbeda dan mengungguli. Mukjizat dalam istilah (terma) para ulama adalah suatu hal yang luar biasa yang disertai tantangan dan tidak dapat ditandingi.
Dengan makna yang sama, Quraish Shihab menjabarkan mukjizat sebagai istilah yang terambil dari kata أعجز yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Pelakunya yang melemahkan disebut mu’jiz dan bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, maka ia dinamakan معجزة. Tambahan ta’ marbuthah (ة) pada akhir kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif). Menurut Subhi al Shalih dan Muhammad Ali Ash Shabuni, I’jaz berarti lemah atau tidak mampu kepada yang lain. Ahmad von Denffer mengartikan I’jaz sebagai “yang melemahkan, yang meniadakan kekuatan, yang tak tertirukan, yang mustahil”.
Mukjizat didefinisikan oleh pakar agama Islam, antara lain sebagai suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seorang yang mengaku Nabi, sebagai bukti kenabiannya sebagai tantangan bagi orang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, tetapi tidak melayani tantangan itu.
 Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai suatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah SWT. Melalui para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya. Manna’ Al-Qhathan mendefinisikan:
أَمْرُ خَارِقٌ لِلْعَادَةِ مَقْرُوْنٌ بِالتَّحَدِّيْ سَالِمٌ عَنِ اْلمُعَارَضَةِ. Artinya:
“Suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan, dan tidak akan dapat ditandingi.”

  1. Macam-macam Mukjizat
Secara umum mukjizat dapat digolongkan menjadi dua klasifikasi, yaitu:
  1. Mu’jizat Indrawi (Hissiyyah)
Mukjizat jenis ini muncul dari segi fisik yang mengisyaratkan adanya kesaktian seorang nabi. Secara umum dapat diambil contoh adalah mukjizat nabi Musa dapat membelah lautan, mukjizat nabi Daud dapat melunakkan besi serta mukjizat nabi-nabi dari bani Israil yang lain. Imam Jalaludin as-Suyuthi, beliau berpendapat bahwa kebanyakan mukjizat yang ditanpakkan Allah pada diri para nabi yang diutus kepada bani Israil adalah mukjizat jenis fisik
b)      Mukjizat Rasional (‘aqliyah)
Mukjizat ini tentunya sesuai dengan namanya lebih banyak ditopang oleh kemampuan intelektual yang rasional. Dalam kasus al-Quran sebagai mukjizat nabi Muhammad atas umatnya dapat dilihat dari segi keajaiban ilmiah yang rasional dan oleh karena itulah mukjizat al-Quran ini bisa abadi sampai hari Qiamat. Oleh karena itu al-Quran dalam meukjizat rasional, sisi i’jaznya hanya bisa diketahui dengan kemampuan intelektual, lain halnya dengan mukjizat fisik yang bisa diketahui dengan instrument indrawi. Meskipun al-Quran diklasifikasian sebagai mukjizat rasional ini tidak serta merta menafikan mukjizat-mukjizat fisik yang telah dianugrahkan Allah kepadanya utnuk memperkuat dakwahnya.
Dalam sebuah buku yang berjudul ”Al-I’jaz Qur’any fi Wujuhil Muktasyifah”, macam-macam i’jaz Al-Qur’an yan terungkap antara lain: i’jaz balaghi (berita mengenai hal ghaib), i’jaz tasyri’ (perundang-undangan), i’jaz ilmi, i’jaz lughawi (keindahan redaksi Al-Qur’an), i’jaz thibby (kedokteran), i’jaz falaky (astronomi), i’jaz adady (jumlah), i’jaz i’lami (informasi), i’jaz thabi’i (fisika) dan lain sebagainya. Karena banyaknya berbagai macam i’jaz Al-Qur’an, maka dalam hal ini akan diuraikan beberapa bagian dari macam-macam i’jaz Al-Qur’an yang disebut dalam buku ”Al-I’jazal Qur’any fi wujuhil Muktasyifah”, antara lain:
  1. I’jaz Balaghy (berita tentang hal-hal yang ghaib)
Sebagian ulama’ mengatakan bahwa mukjizat Al-Qur’an adalah berita ghaib, contohnya adalah Fir’aun yang mengejar Nabi Musa as, hal ini diceritakan dalam QS. Yunus: 92,Artinya:”Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami” .Berita-berita ghaib yang terdapat pada wahyu Allah SWT yakni Taurat, Injil, dan Al-Qur’an merupakan mukjizat. Berita ghaib dalam wahyu Allah SWT itu membuat manusia takjub, karena akal manusia tidak mampu mencapai hal-hal tersebut.
  1. I’jaz Lughawy (keindahan redaksi Al-Qur’an)
Menurut Shihab (dalam Rosihon Anwar, 2000:34) memandang segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an dalam 3 aspek, di antaranya aspek keindahan dan ketelitian redaksinya. Dalam Al-Qur’an dijumpai sekian banyak contoh keseimbangan yang serasi antara kata-kata yang digunakan, yaitu:
a. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dan antonimnya.
b. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya atau makna yang dikandungnya.
c.Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah yang menunjukkan akibatnya.
3)      I’jaz ’Ilmi
Di dalam Al-Qur’an, Allah mengumpulkan beberapa macam ilmu, di antaranya ilmu falak, ilmu hewan. Semuanya itu menimbulkan rasa takjub. Beginilah i’jaz Al-Qur’an ilmi itu betul-betul mendorong kaum muslimin untuk berfikir dan membukakan pintu-pintu ilmu pengetahuan.
 Menurut Quraish Shihab, banyak sekali isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al-Qur’an, misalnya: Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri dan cahaya bulan merupakan pantulan, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat 5. Kurangnya oksigen pada ketinggian dapat menyesakkan nafas. Hal itu diisyaratkan dalam firman Allah: ”Barangsiapa yang Allah kehendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dada orang itu untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit.” (QS. Al-An’am: 125) .
  1. I’jaz Tasyri’i
Al-Qur’an menetapkan peraturan pemerintah Islam, yakni pemerintah yang berdasarkan musyawarah dan persamaan serta mencegah kekuasaan pribadi. Firman Allah SWT: ”Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (QS. Ali Imron: 159). Di dalam pemerintahan Islam, tasyri’i itu tidak boleh ditinggalkan. Al-Qur’an telah menetapkan bila keluar dari tasyri’ Islam itu hukumnya kafir, dzalim, dan fasik. Firman Allah SWT: ”Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka ini adalah orang-orang kafir” (QS. Al-Maidah: 44). Al-Qur’an menetapkan perkara yang sangat dibutuhkan oleh manusia, yakni agama, jiwa, akal, nasab (keturunan) dan harta benda.
  1. I’jaz ’Adady (Jumlah)
I’jaz ’adady merupakan rahasia angka-angka dalam Al-Qur’an. Seperti dikatakan ”sa’ah” disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 24 kali, sama dengan jumlah jam dalam sehari semalam. Selain itu Al-Qur’an menjelaskan bahwa langit ada tujuh. Penjelasan ini diulangi sebanyak tujuh kali pula dalam surat Al-Baqoroh: 29, surat Al-Isra’: 44, surat Al-Mukminun: 86, surat Fushshilat: 12, surat Ath-Thalaq: 12, surat Al-Mulk: 3, dan surat Nuh: 15.
Adapula kata-kata yang menunjukkan utusan Tuhan, baik rasul atau nabi atau basyir (pembawa berita gembira) atau nadzir (pemberi peringatan), kesemuanya berjumlah 518 kali. Jumlah ini sama dengan penyebutan nama-nama nabi, rasul, dan pembawa berita yakni 518 kali.
  1. Segi-segi kemu’jizatan Al-qur’an
Ada beberapa hal ditinjau dari segi-segi kemu’jizatan al-quran,diantara nya:
a.      Segi bahasa dan susunan redaksinya
Sejarah telah menyaksikan bahwa bangsa Arab pada saat turunnya al-Quran telah mencapai tingkat yang belum pernah dicapai oleh bangsa satu pun yang ada didunia ini, baik sebelum dan sesudah mereka dalam bidang kefashihan bahasa (balaghah). Mereka juga telah meramba jalan yang belum pernah diinjak orang lain dalam kesempurnaan menyampaikan penjelasan (al-bayan), keserasian dalam menyusun kata-kata, serta kelancaran logika.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa setiap perbuatan yang tidak mampu oleh seorang pun, sementara sarana-sarana yang diperlukan secara berlimpah, sedang motivasi juga kuat, maka itu menandakan adanya ketidak mampuan dikerjakannya pekerjaan itu. Dan apabila hal itu telah terbukti, serta kita tahu bangsa Arab telah ditantang al-Quran namun tak mampu menjawabnya, meskipun mereka sangat ingin melakukannya dan memilki sarana yang kuat untuk itu. Kita bisa mengetahui bahwa tantangan itu merupakan tantangan yang tidak mampu mereka layani.
Selanjutnya apabila ketidakmampuan bangsa Arab telah terbukti sedangkan mereka jago dalam bidang bahasa dan sastra, maka terbukti pulalah kemukjizatan al-Quran dalam segi bahasa dan sastra dan itu merupakan argumenatasi terhadap mereka maupun terhadap kaum-kaum selain mereka. Berkaitan dengan masalah pembuktian akan ketidak mampuan bangsa Arab untuk menyainngi al-Quran para ulama banyak memberikan komentar yang mengisyaratkan adanya perbedaan tentang ihwal ketidakmampuan itu bias terjadi.
b.      Segi isyarat ilmiah
Pemaknaan kemukjizatan al-Quran dalam segi ilmiyyah adalah dorongan serta stimulasi al-Quran kepada manusia untuk selalu berfikir keras atas dirinya sendiri dan alam semesta yang mengitarinya. Al-Quran memberikan ruangan sebebas-bebasnya pada pemikiran ilmu pengetahuan, sebagaimana halnya tidak ditemukan pada kitab-kitab agama lainnya yang malah cenderung restriktif. Pada akhirnya teori ilmu pengetahuan yang telah lulus uji kebenaran ilmiahnya akan selalu koheheren dengan al-Quran. Al-Quran dalam mengemukakan dalil-dalil, argument serta penjelasan ayat-ayat ilmiah, menyebutkan isyarat-isyarat ilmiah yang sebagaiannya baru terungkap pada zaman atom, planet dan penaklukan angkasa luar sekarang ini.
c.       Segi pemberitaan yang ghaib
Surat-surat dalam al-Quran mencakup banyak berita tentang hal ghaib. Kapabilitas al-Quran dalam memberikan informasi-informasi tentang hal-hal yang ghaib seakan menjadi prasyarat utama penopang eksistensinya sebgai kitab mukjizat. Akan tetapi pemberian informasi akan segala hal yang ghaib tidak memonopoli seuruh aspek kemukjizatan al-Quran itu sendiri. Contohnya adalah:Keghaiban masa lampau. Al-Quran sangat jelas dan fasih seklai dalam menjelaskan cerita masa lalu seakan-akan menjadi saksi mata yang langsung mengikuti jalannya cerita. Dan tidak ada satupun dari kisah-kisah tersebut yang tidak terbukti kebenarannya. Diantaranya adalah: Kisah nabi Musa: Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” mereka berkata: “Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?”[62] Musa menjawab: “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil”.(QS. Al-baqarah: 67) Kisah Fir’aun : 4. Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun Termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qoshosh: 4) .

  1. Segi petunjuk penetapan hukum syara’
Al-Quran adalah wahyu Allah, yang terkandung didalamnya syari’at paling ideal bagi umat manusia, undang-undang yang paling lurus bagi kehidupan, yang dibawa al-Quran utnuk mengatur kehidupan manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Contohnya : Keadilan. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. An-nahl: 90)
Dengan makna yang sama, Quraish Shihab menjabarkan mukjizat sebagai istilah yang terambil dari kata أعجز yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Pelakunya yang melemahkan disebut mu’jiz dan bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, maka ia dinamakan معجزة. Tambahan ta’ marbuthah (ة) pada akhir kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif). Menurut Subhi al Shalih dan Muhammad Ali Ash Shabuni, I’jaz berarti lemah atau tidak mampu kepada yang lain. Ahmad von Denffer mengartikan I’jaz sebagai “yang melemahkan, yang meniadakan kekuatan, yang tak tertirukan, yang mustahil”.
Sebagaimana telah disebut pada pendahuluan, terma mukjizat biasanya ditemukan dalam kisah para nabi sebagai sebuah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT kepada mereka untuk membuktikan kenabiannya dan mengalahkan para pengingkarnya. Biasanya anugerah itu menyangkut peristiwa yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh orang lain di masa itu. Oleh sebab itu sangat umum dikenal pengertian mukjizat sebagaimana didefinisikan Manna’ al Qaththan dengan;

والمعجزة: أمر خارق للعادة مقرون بالتحدي سالم عن المعارضة
Mukjizat: Suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan, serta tidak akan dapat ditandingi,
atau defenisi dari Quraish Shihab:
“Suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku nabi sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak mampu melayani tantangan itu”
Mukjizat sebagai kejadian luar biasa tidak dapat terjadi pada sembarang orang. Secara historis, mukjizat selalu menemukan momentnya sendiri berdasarkan kehendak Allah SWT. Quraish Shihab mengemukakan beberapa unsur yang menyertai mukjizat, yaitu:
1.Hal atau peristiwa yang luar biasa;
2.terjadi atau dipaparkan oleh seorang yang mengaku nabi;
3.mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian;
4.tantangan itu tidak mampu atau gagal dilayani.
  1. Macam-Macam Mukjizat
Secara umum mukjizat dapat digolongkan menjadi dua klasifikasi, yaitu:

Mu’jizat Indrawi (Hissiyyah)
Mukjizat jenis ini diderivasikan pada kekuatan yang muncul dari segi fisik yang mengisyaratkan adanya kesaktian seorang nabi. Secara umum dapat diambil contoh adalah mukjizat nabi Musa dapat membelah lautan, mukjizat nabi Daud dapat melunakkan besi serta mukjizat nabi-nabi dari bani Israil yang lain. Bahkan secara umum bila melihat komentar Imam Jalaludin as-Suyuthi, dimana beliau berpendapat bahwa kebanyakan maukjizat yang ditanpakkan Allah pada diri para nabi yang diutus kepada bani Israil adalah mukjizat jenis fisik. Beliau menambahkan hal itu dikarenakan atas lemah dan keterbelakangan tingkat intelegensi bani Israil.[5]

Mukjizat Rasional (‘aqliyah)
Mukjizat ini tentunya sesuai dengan namanya lebih banyak ditopang oleh kemampuan intelektual yang rasional. Dalam kasus al-Quran sebagai mukjizat nabi Muhammad atas umatnya dapat dilihat dari segi keajaiban ilmiah yang rasional dan oleh karena itulah mukjizat al-Quran ini bias abadi sampai hari Qiamat. Jalaludin as-Suyuthi kembali berkomentar, bahwa sebab yang melatarbelakangi diberikannya mukjizat rasional atas umat nabi Muhammad adalah keberadaan mereka yang sudah relative matang dibidang intelektual. Beliau menambahkan, oleh karena itu al-Quran adalam meukjizat rasional, maka sisi i’jaznya hanya bias diketahui dengan kemampuan intelektual, lain halnya dengan mukjizat fisik yang bias diketahui dengan instrument indrawi. Meskipun al-Quran diklasifikasian sebagai mukjizat rasional ini tidak serta merta menafikan mukjizat-mukjizat fisik yang telah dianugrahkan Allah kepadanya utnuk memperkuat dakwahnya.

Segi-segi kemukjizatan al-Quran
1. Segi bahasa dan susunan redaksinya      
Sejarah telah menyaksikan bahwa bangsa Arab pada saat turunnya al-Quran telah mencapai tingkat yang belum pernah dicapai oleh bangsa satu pun yang ada didunia ini, baik sebelum dan seudah mereka dalam bidang kefashihan bahasa (balaghah). Mereka juga telah meramba jalan yang belum pernah diinjak orang lain dalam kesempurnaan menyampaikan penjelasan (al-bayan), keserasian dalam menyusun kata-kata, serta kelancaran logika.
Oleh karena bangsa Arab telah mencapai taraf yang begitu jauh dalam bahasa dan seni sastra, karena sebab itulah al-Quran menantang mereka. Padahal mereka memiliki kemampuan bahasa yang tidak bias dicapai orang lain seperti kemahiran dalam berpuaisi, syi’ir atau prosa (natsar), memberikan penjelasan dalam langgam sastra yang tidak sampai oleh selain mereka. Namun walaupun begitu mereka tetap dalam ketidakberdayaan ketika dihadapkan dengan al-Quran.
Dari sini bias disimpulkan bahwa setiap perbuatan yang tidak mampu oleh seorang pun, sementara sarana-sarana yang diperlukan secara berlimpah, sedang motivasi juga kuat, maka itu menandakan adanya ketidak mampuan dikerjakannya pekerjaan itu. Dan apabila hal itu telah terbukti, serta kita tahu bangsa Arab telah ditantang al-Quran namun tak mampu menjawabnya, meskipun mereka sangat ingin melakukannya dan memilki sarana yangkuat untuk itu. Maka tahulah kita bahwa tantangan itu merupakan tantangan yang tidak mampu mereka layani.
Selanjutnya apabila ketidakmampuan bangsa Arab telah terbukti sedangkan mereka jago dalam bidang bahasa dan sastra, maka terbukti pulalah kemukjizatan al-Quran dalam segi bahasa dan sastra dan itu merupakan argumenatasi terhadap mereka maupun terhadap kaum-kaum selain mereka. Sebab dipahami bahwa apabila sebuah pekerjaan tidak bias dilakukan oleh mereka yang ahli dalam bidangnya tentunya semakin jauh lagi kemustahilan itu bias dilakukan oleh mereka yang tidak ahli dibidangnya.
Berkaitan dengan masalah pembuktian akan ketidak mampuan bangsa Arab untuk menyainngi al-Quran para ulama banyak memberikan komentar yang mengisyaratkan adanya perbedaan tentang ihwal ketidakmampuan itu bias terjadi. Secara umum pendapat ulama dalam masalah sebab terjadinya fenomena ketidakmampuan orang Arab untuk menandingi al-Quran ada dua pendapat, yaitu:
  1. Muncul dari factor i’jaz yang terkait dan inheren dalam al-Quran
  2. Muncul dari luar al-Quran dengan adanya kesengajaan Allah untuk melemahkan orang Arab secara intelektual (sharfah)

2. Segi isyarat ilmiah
Pemaknaan kemukjizatan al-Quran dalam segi ilmiyyah adalah dorongan serta stimulasi al-Quran kepada manusia untuk selalu berfikir keras atas dirinya sendiri dan alam semesta yang mengitarinya. Al-Quran memberikan ruangan sebebas-bebasnya pada pergulan pemikiran ilmu pengetahuan sebagaimana halnya tidak ditemukan pada kitab-kitab agama lainnya yang malah cenderung restriktif. Pada khirnya teori ilmu pengetahuan yang telah lulus uji kebenaran ilmiahnya akan selalu koheheren dengan al-Quran. Al-Quran dalam mengemukakan dalil-dalil, argument serta penjelasan ayat-ayat ilmiah, menyebutkan isyarat-isyarat ilmiah yang sebagaiannya baru terungkap pada zaman atom, planet dan penaklukan angkasa luar sekarang ini. Diantaranya adalah :
  1. “Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’: 30). Dalam ayat ini terdapat isyarat ilmiah tentang sejarah tata surya dan asal mulanya yang padu, kemudian terpisah-pisahnya benda-benda langit (planet-planet), sebagian dari yang lain secara gradual. Begitu juga di dalamnya terdapat isyarat tentang asal-usul kehidupan yaitu dari air.
  2. “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.” (QS. Al-Hijr: 22) ayat ini meberikan isyarat tentang peran angin dalam turunnya hujan begitu juga tentang pembuahan serbuk bunga tumbuh-tumbuhan.
  3. “Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam Keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka,” (QS. Al-Zalzalah: 6) adanyan pemeliharaan dan pengabadian segala macam perbuatan manusia di dunia. Dan jika ini dapat dilakukan manusia, maka pastilah itu jauh lebih mudah bagi Allah
  4. “Bukan demikian, sebenarnya Kami Kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.” (QS. Al-Qiyamah: 4) dianatara kepelikan penciptaan manusia adalah sidik jarinya. Ayat ini menyebtkan kenyataan ilmiah bahwa tidak ada jari-jari tangan seorang manusia yang bersidik jari yang sama dengan manusia yang lainnya
3. Segi pemberitaan yang ghaib
Surat-surat dalam al-Quran mencakup banyak berita tentang hal ghaib. Kapabilitas al-Quran dalam memberikan informasi-informasi tentang hal-hal yang ghaib seakan menjadi prasyarat utama penopang eksistensinya sebgai kitab mukjizat. Akan tetapi pemberian informasi akan segala hal yang ghaib tidak memonopoli seuruh aspek kemukjizatan al-Quran itu sendiri. Diantara contohnya adalah:
  1. Keghaiban masa lampau. Al-Quran sangat jelas dan fasih seklai dalam menjelaskan cerita masa lalu seakan-akan menjadi saksi mata yang langsung mengikuti jalannya cerita. Dan tidak ada satupun dari kisah-kisah tersebut yang tidak terbukti kebenarannya. Diantaranya adalah: Kisah nabi Musa: Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” mereka berkata: “Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?”[62] Musa menjawab: “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil”.(QS. Al-baqarah: 67) Kisah Fir’aun : 4. Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka[1111]. Sesungguhnya Fir’aun Termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qoshosh: 4)
  2. Keghaiban masa sekarang. Terbukanya niat busuk orang munafik di masa rasulullah. 204. Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, Padahal ia adalah penantang yang paling keras.(QS. Al-Baqoroh: 204)
  3. Keghaiban masa yang akan dating. Ghulibatir ruum. Fii adnal ‘ardhii wahum min ba’di ghalibiin sayaghlibun fi bid’i sinin (QS. Ar-Rum 2-4)
4. Segi petunjuk penetapan hokum syara’
Diantara hal-hal yang mencengangkan akal dan tak mungkin dicari penyebabnya selain bahwa al-Quran adalah wahyu Allah, adalah terkandungnya syari’at paling ideal bagi umat manusia, undang-undang yang paling lurus bagi kehidupan, yang dibawa al-Quran utnuk mengatur kehidupan amanusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Antara lain contohnya :
  1. Keadilan. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. An-nahl: 90)
  2. Mencegah pertumpahan darah. “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain[411], atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya[412]. Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu[413] sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”
  3. Pertahanan untuk menghancurkan fitnah dan agresi. “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah: 193)


  1. Bentuk-Bentuk I’Jaz Al-Quran
Ijaz al-Qur’an dalam melemahkan manusia untuk mendatangkan sepadan dengan al-Qur’an terdiri dari aspek lafziah (morfologis), maknawiyah (semantik) dan ruhiyah (psikologis), semuanya bersandarkan (interchangeable) dan bersatu, sehingga melemahkan manusia untuk menandinginya. 
Ijaz al-Quran bersifat  zaty (essensial), bukan bersifat relatif (idhafy) dan bukan karena sesuatu yang keluar darinya dan juga bersifat universal sesuai dengan universalitas al-Qur’an.
Berikut ini bentuk-bentuk Ijaz al-Qur’an yang telah dapat dicapai oleh akal manusia dan telah diungkapkan para ulama, yaitu :
    1. Keharmonisan uslub bahasanya, keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya, maknanya, hukumnya dan teorinya.         
Betapa menakjubkan rangkaian al-Qur’an dan betapa indah susunannya. Tidak ada kontradiksi dan perbedaan di dalamnya, padahal al-Qur’an membeberkan banyak segi yang dikandungnya, seperti kisah dan nasehat, argumentasi, hikmah dan hukum, tuntutan dan peringatan, janji dan ancaman, kabar gembira dan berita duka serta akhlak mulia dan sebagainya.
Abdurrazaq Nawfal dalam al-Ijaz al-Adaby li al-Qur’an al-Karim mengemukakan tentang keharmonisan dan keseimbangan ushlub bahasa al-Qur’an sebagai berikut: 2. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya, seperti :
-  Al-hayah (hidup)  dan al-mawt (mati) masing-masing sebanyak 145 kali.
Al-Naf’u (manfaat) dan al-madharrah (madarat) masing-masing sebanyak 50 kali.
-  Al-har (panas) dan al-bard (dingin) masing-masing sebanyak 4 kali.
-  Al-rahbah (takut) dan al-raghbah (harap) masing-masing sebanyak 8 kali.
-  Al-shaif (musim panas) dan al-syita (musim dingin) masing-masing sebanyak 1 kali.
3. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya, seperti :
-  Al-harts dan al-zira’ah (membajak/ bertani) masing-masing sebanyak 14 kali.
- Al-ushb dan al-dhurur (membanggakan diri/angkuh) masing-masing sebanyak27 kali.
- Al-aql dan al-nur (akal/cahaya) masing-masing sebanyak 49 kali.
- Al-jahr dan al-alaniyah (nyata) masing-masing sebanyak 16 kali.
- Al-Qur’an, al-wahyu dan al-islam masing-masing sebanyak 70 kali.
4. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya, seperti :
-         Al-infaq (infak)  dengan al-ridha (kerelaan) masing-masing sebanyak 73 kali.
-         Al-bukhl (kikir) dengan al-hasarah (penyesalan) masing-masing sebanyak 12 kali.
-         Al-kafirun (orang-orang kafir) dengan al-nar/al-ahraq (neraka/pembakaran) masing-masing sebanyak 154 kali.
-         Al-zakat (zakat/penyucian) dengan al-barakah (kebajikan yang banyak) masing-masing sebanyak 32 kali.
-         Al-fahisyah (kekejian) dengan al-ghadab (murka) masing-masing sebanyak 26 kali.
5.         Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya, seperti :
-       Al-israf (pemborosan)  denan al-sur’ah (ketergesa-gesaan) masing-masing sebanyak 23 kali.
-       Al-mauidzah (nasihat) dengan al-lisan (lidah) masing-masing sebanyak 25 kali.
-       Al-asra (tawanan) dengan al-harb (perang) masing-masing sebanyak 6 kali.
-      Al-salam (kedamaian) dan al-thayyibat (kebajikan) masing-masing sebanyak 60 kali.
6.         Disamping keseimbangan-keseimbangan tersebut ditemukan juga keseimbangan khusus , yaitu :
-         Kata yaum (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali sebanyak bilangan hari dalam setahun. Sedangkan kata hari yang menunjuk kepada bentuk plural  (ayyam) atau dua (yaumain) jumlah keseluruhannya hanya 30 kali sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Di sisi lain kata yang berarti bulan (syahr) hanya terdapat 12 kali sama dengan jumlah bulan dalam setahun.
-         Al-Qur’an menjelaskan bahwa langit ada tujuh. Penjelasan ini diulangi sebanyak tujuh kali pula yaitu dalam al-Baqarah : 29, al-Isra : 44, al-Mu’minun : 86, Fushilat : 12, al-Thalaq : 12, al-Mulk : 3 dan Nuh : 15. Selain itu penjelasannya tentang terciptanya langit dan bumi dalam 6 hari dinyatakan pula dalam 7 ayat.
-         Kata-kata yang menunjuk kepada utusan Allah , baik rasul, nabi, basyir dan nazir keseluruhannya berjumlah 518 kali seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut yakni 518 kali.
Al-Qur’an diungkapkan dengan gaya bahasa dan uslub bermacam-macam dengan pokok bahasan yang bermacam-macam pula yaitu bidang aqidah, akhlaq dan pembentukan hukum Islam (syar’iyyah tasyri’iyyah), yang satu sama lainnya tidak terdapat kontradiksi dan pertentangan. Allah swt. telah memberi petunjuknya dalam Q.S. al-Nisa : 82 sebagai berikut :
Artinya : Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.
Berdasarkan ayat di atas, seandainya kita temukan ada ayat al-Qur’an yang lahirnya kontradiktif antara satu ayat dengan ayat lainnya, maka setelah diadakan pembahasan dan penelitian, tampaklah keserasian dan keharmonisannya, tidak ada kontradiksi di dalamnya. Seandainya al-Qur’an itu datang selain dari Allah, niscaya akan didapatkan kontradiksi yang banyak di dalamnya.
7.         Persesuaian ayat-ayat al-Qur’an menurut teori-teori  yang  telah diungkapkan oleh ilmu pengetahuan dan isyarat-isyarat ilmiahnya.
Semua persoalan atau kaidah ilmu pengetahuan yang telah mantap dan meyakinkan merupakan manipestasi dari pemikiran valid yang dianjurkan al-Qur’an tidak ada kontradiksi sedikitpun dengannya. Ilmu pengetahuan telah maju dan telah banyak melahirkan kemajuan yang spektakuler yang tidak ada pertentangan dengan al-Qur’an. Ini merupakan ijaz al-Qur’an.
Al-Qur’an menjadikan pemikiran  lurus dan perhatian  tepat terhadap alam dan segala apa yang ada di dalamnya sebagai sarana terbesar agar makin mantap dan kuat nilai keimanan kepada Allah swt.
Al-Qur’an mendorong manusia agar memikirkan makhluk-makhluk Allah yang ada di langit dan di bumi[9], memikirkan dirinya sendiri, bumi yang ditempatinya dan alam yang mengitarinya[10], al-Qur’an membangkitkan kesadaran ilmiah pada setiap diri manusia untuk memikirkan, memahami dan menggunakan akal[11], Allah mengumpulkan ilmu falak, botani, geologi dan zoologi sebagai pendorong rasa takut kepada Allah.
Demikianlah ijaz al-Qur’an secara ilmiah terletak pada dorongannya kepada umat manusia untuk berfikir disamping membukakan kepada mereka pintu-pintu pengetahuan dan mengajak masuk ke dalamnya dan menerima segala ilmu pengetahuan yang baru yang mantap dan stabil.
Disamping hal-hal di atas, di dalam al-Qur’an terdapat isyarat-isyarat ilmiah yang diungkapkan dalam kontek hidayah, misalnya :
1.         Perkawinan tumbuh-tumbuhan itu  ada yang zati yaitu tumbuh-tumbuhan yang bunganya mengandung organ jantan dan betina (putik dan benang sari) dan ada yang khalti yaitu tumbuh-tumbuhan yang organ jantannya terpisah dari organ betina seperti pohon kurma, sehingga perkawinannya melalui pemindahan dan sarana pemindahannya adalah angin. Penjelasan ini terdapat dalam al-Qur’an Surat al-Hijr : 22 :
Artinya : Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan).
2.         Oksigen sangat penting bagi pernafasan manusia dan oksigen tiu berkurang pada lapisan-lapisan udara yang tinggi. Semakin tinggi manusia berada di lapisan udara, maka ia akan merasakan sesak dada dan sulit bernafas. Firman Allah dalam al-Qur’an urat al-An’am : 125 :
Artinya : Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seakan-akan ia sedang mendaki ke langit
3.         Langit dan bumi dulunya berasal dari satu gumpalan (kesatuan kosmos) kemudian terjadi ledakan dahsyat (big bang) yang membuatnya terpecah-pecah menjadi beberapa planet dan kehidupan membutuhkan air. Firman Allah dalam al-Qur’an Surat al-Anbiya : 30?
Artinya : Tidakkah orang-orang kafir melihat bahwa langit dan bumi itu dulunya merupakan satu yang padu kemudian kami pisahkan keduanya dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air, maka mengapakah mereka tidak beriman.
Demikian pula diisyaratkan bahwa cahaya matahari bersumber dari dirinya, sedangkan cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari)[13]. Jenis kelamin anak adalah hasil sperma pria sedangkan wanita sekedar mengandung karena mereka hanya bagaikan ladang dan banyak lagi isyarat-isyarat ilmiah yang disebutkan al-Quran yang  tidak penulis paparkan dalam makalah singkat ini.
Isyarat-isyarat ilmiah dan yang serupa dengannya yang terdapat dalam al-Qur’an itu datang dalam kontek petunjuk Ilahi (hidayah ilahiyah) dan akal manusia boleh mengkaji dan memikirkannya.
3.         Pemberitaan-pemberitaan ghaib yakni memberitahukan hal-hal kejadian yang tidak diketahui kecuali oleh Allah swt. Yang Maha Mengetahui hal-hal yang ghaib.
Al-Qur’an telah memberitakan mengenai terjadinya kejadian-kejadian pada masa yang akan datang yang tidak diketahui yang tak seorangpun mengetahui hal itu, seperti Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Rum : 1-4 :
Artinya : Alif lam mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi di negeri terdekat dan mereka sudah dikalahkan akan menang dalam beberapa tahun lagi.
Al-Qur’an telah menceriterakan bangsa-bangsa terdahulu yang tidak meninggalkan bekas ataupun tanda (prasasti) yang mengandung beritanya. Hal ini adalah bukti bahwa al-Qur’an di sisi Allah yang tidak tersembunyi untuk masa sekarang, masa lampau dan masa yang akan datang. Allah swt. memberi petunjuk dalam Q.S. Hud : 49 :
Artinya : Itu adalah diantara berita-berita penting tentang yang ghaib yang kami wahyukan kepadamu (Muhammad), kamu tidak pernah mengetahuinya dan tidak ( pula) kaummu sebelum ini.
Dalam hal ini seperti kisah Fir’aun yang mengejar-ngejar  Nabi Musa as. dan kaumnya dan tenggelam di laut merah, tetapi badan Fir’aun diselamatkan sebagaimana diberitakan dalam Q.S. Yunus : 92
Artinya : Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu agar kamu menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu.
Tidak seorangpun  mengetahui hal tersebut, karena hal itu terjadi sekitar 1200 tahun sebelum masehi. Pada awal abad ke 19 tepatnya pada tahun 1896, ahli purbakala Loret menemukan di lembah raja-raja Luxor Mesir, satu mumi yang dari data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah Fir’aun yang bernama Maniptah yang pernah mengejar Nabi Musa as. Selain itu pada tanggal 8 Juli 1908 Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka pembalut-pembalut mumi Fir’aun tersebut. Apa yang ditemukan adalah jasad utuh seperti yang diberitakan al-Qur’an. Setiap orang yang berkunjung ke Museum Kairo akan dapat melihat  jasad Fir’aun tersebut[16].
4.         Kefashahan lafaz al-Qur’an, Kebalaghahan bahasanya dan Kekuatan Pengaruhnya.
Di dalam al-Qur’an tidak terdapat lafaz yang tidak enak untuk didengar (tidak memenuhi sasaran) atau tanafur (kekacauan susunan). Ungkapan gaya bahasanya yang relevan dengan situasi dan kondiisi telah mencapai ukuran balaghah (sastra) yang tertinggi. Hal ini akan lebih jelas dan terasa bagi orang yang memiliki dzauq Arabi (daya rasa bahasa Arab) dalam beberapa kata tasybih (kata-kata yang relatif) di dalam al-Qur’an, beberapa kalam matsal (kalimat ungkapan), beberapa hujjah (argumentasi), mujadalah (dialog-dialog) dan dalam menetapkan pedoman-pedoman yang benar atau di dalam menghinakan orang yang berbuat bathil dan dalam mengungkapkan tiap-tiap makna (amanat) dan tujuan yang dimaksudkan.
Adapun kekuatan pengaruhnya terhadap jiwa sekaligus penguasaannya secara maknawi (spiritual) terhadap jiwa dan hati, bisa dijiwai oleh setiap orang yang meresapi, yang mempunyai ketajaman daya tangkap mata hati.
Bagi kita cukup dengan bukti bahwa al-Qur’an tidak membosankan pendengaran dan selalu up to date.
. Dr. Abd. Rozzaq Naufal, dalam kitab Al-I’jazu al-Adadi Lil Qur’anil Karim menerangkan bahwa i’jazil Qur’an itu ada 4 macam, adalah sebagai berikut:
1) Al-I’jazul Balaghi yaitu kemukjizatan segi sastra balaghahnya, yang muncul ada pada masa peningkatan mutu sastra Arab.
2) Al-I’jazut Tasyri’i yaitu kemukjizatan segi pensyariatan hukum-hukum ajarannya yang muncul pada masa penetapan hukum-hukum syari’at Islam.
3) Al-I’jazul Ilmu yaitu kemukjizatan segi ilmu pengetahuan, yang muncul pada masa kebangkitan ilmu dan sains di kalangan umat Islam.
4) Al-I’jazul Adadi, yaitu kemukjizatan segi quantity / matematis, statistik yang muncul pada abad ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang.

  1. PERBEDAAN MUKJIZAT QURAN DENGAN NABi-NABI SEBELUMNYA

    Ada beberapa perbedaan besar antara mukjizat Al-Quran dengan mukjizat para Nabi-nabi sebelumnya, antara lain :
    a) Mukjizat Nabi sebelumnya bersifat fisik (hissiyah), maka habis sesuai dengan berlalunya zaman. Generasi setelahnya tidak lagi bisa menyaksikan mukjizat tersebut. Sementara Al-Quran adalah mukjizat yang terjaga, abadi dan berkelanjutan. Karenanya hingga hari ini masih banyak temuan-temuan tentang mukjizat Al-Quran.
    b) Mukjizat Nabi-nabi sebelumnya terfokus pada 'penakjuban pandangan', sementara mukjizat Al-Quran mengarah pada 'pembukaan hati dan penundukan akal', karena itu daya pengaruhnya lama dan bertahan. Sementara mukjizat 'pandangan' kadang begitu mudah terlupakan.
    c) Mukjizat Nabi sebelumnya di luar konteks isi risalah mereka dan tidak bersesuain, karena fungsinya utamanya hanya untuk menguatkan kenabian atau membuktikan bahwa mereka adalah utusan Allah SWT. Contoh : menghidupkan orang mati, tongkat menjadi ular, tidak ada hubungan langsung dengan isi kitab Taurat dan Injil. Sementara Al-Quran benar-benar mukjizat yang bersesuaian dan menguatkan isi risalah kenabian.






Azbabul nuzul

  1. Pengertian Azbabul nuzul
Ungkapan Asbab An-Nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan nuzul Secara etimologis, asbabun nuzul ayat itu berarti sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu atau dalam hal ini adalah sebab-sebab turun ayat. dalam pengertian sederhana turunnya suatu ayat disebabkan oleh suatu peristiwa, sehingga tanpa adanya peristiwa itu, ayat tersebut itu tidak turun.
Asbabun Nuzul bisa didefinisikan “sebagai suatu hal yang karenanya al-qur’an diturunkan untuk menerangkan status hukumnya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”, asbabun nuzul membahas kasus-kasus yang menjadi turunnya beberapa ayat al-qur’an, macam-macamnya, sight (redaksi-redaksinya), tarjih riwayat-riwayatnya dan faedah dalam mempelajarinya.
Untuk menafsirkan qur’an ilmu asbabun nuzul sangat diperlukan sekali, sehingga ada pihak yang mengkhususkan diri dalam pembahasan dalam bidang ini, yaitu yang terkenal diantaranya ialah Ali bin madani, guru bukhari, al-wahidi , al-ja’bar , yang meringkaskan kitab al-wahidi dengan menghilangkan isnad-isnadnya, tanpa menambahkan sesuatu, syikhul islam ibn hajar yang mengarang satu kitab mengenai asbabun nuzul.
Banyak pengertian terminology yang dirumuskan oleh para ulama, diantaranya:
1.menurut Az Zarqani:
Asbab An-Nuzul” adalah khusus atau sesuatu yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya Al Qur’an sebabagi penjelas hokum pada saat peristiwa itu terjadi.”
2.Ash shabuni:
“Asbab An-Nuzul” adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu
atau beberapa ayat yang mulia yang berhubungan dengan kejadian tersebut baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agam.”
3. Subhi Shalihما نزلة الأية او الآيات بسببه متضمنة له أو مجيبة عنه أو مبينة لحكمه زمن وقوعه.
“Sesuatu yang dengan sebabnyalah turun sesuatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau memberi jawaban tentang sebab itu, atau menerangkan hukumnya; pada masa terjadinya peristiwa itu.”




4.Mana Al Qathan
“Asbab An-Nuzul”
Adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya Al Qur’an berkenaan dengan waktu peristiwa itu terjadibaik berupa suatu kejadisn atau pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.”
Kendatipun redaksinya pendifinisian diatas berbeda namun hal itu menyimpulan bahwa Asbab An-Nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatar belakangi turunnya Al Qur’an.
Bentuk bentuk peristiwa yang melatar belakngi turunnya Al Qur’an itu sangat beragam , diantaranya berupa konflik sosial seperti ketegangan anatara suku aus dan suku khazraj, kesalahan besar seperti kasusu seorang sahabat yang mengimani shalat dalam keadaan mabuk, dan pertanyaan pertannyaan yang diajukan para sahabat kepada Nabi, baik berkaitan dengan sesuatu yang telah lewat sedang atau yang akan terjadi.
Persoalan apakah semua ayat Al Qur’an diturunkan berdasarkan Asbab An-Nuzul ternyata telah menjadi bahan k
ontroversi dikalangan para ulama.
Pedoman dasar para ulama’ dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pembaritahuan seorang sahabat mengenai asbabun nuzul, al-wahidi mengatakan: “ tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul kitab, kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya. Mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertian secara bersungguh-sungguh dalam mencarinya ”.

Para ulama’ salaf terdahulu untuk mengemukakan sesuatu mengenai asbabun nuzul mereka amat berhati-hati, tanpa memiliki pengetahuan yang jelas mereka tidak berani untuk menafsirkan suatu ayat yang telah diturunkan. Muhammad bin sirin mengatakan: ketika aku tanyakan kepada ‘ubaidah mengetahui satu ayat qur’an, dijawab: bertaqwalah kapada allah dan berkatalah yang benar. Orang-oarang yang mengetahui mengenai apa qur’an itu diturunkan telah meninggal.

Maksudnya: para sahabat, apabila seorang ulama semacam ibn sirin, yang termasuk tokoh tabi’in terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan bahwa seseorang harus mengetahui benar-benar asbabun nuzul. Oleh sebab itu yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan asbabun nuzul.

Al-wahidi telah menentang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun nuzul, bahkan dia (Al-wahidi ) menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat, dengan mengatakan: “ sekarang, setiap orang suka mangada-ada dan berbuat dusta; ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan ancaman berat bagi orang yang tidak mengetahui sebab turunnya ayat ”.

  1. Macam-macam asbabun nuzul

    Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun,
    asbabun nuzul dapat dibagi kepada ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid ( sebab turunnya lebih dari satu dan ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu ) dan ta’addud al-nazil wa al-sabab wahid (ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu ). sebab turun ayat disebut ta’addud karena wahid atau tunggal bila riwayatnya hanya satu, sebaliknya apabila satu ayat atau sekelompok ayat yang turun disebut ta’addud al-nazil.

    Jika ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat-ayat dan masing-masing menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka riwayat ini harus diteliti dan dianalisis, permasalahannya ada empat bentuk: Pertama, salah satu dari keduanya shahih dan lainnya tidak.
    Kedua, keduanya shahih akan tetapi salah satunya mempunyai penguat ( Murajjih ) dan lainnya tidak. Ketiga, keduanya shahih dan keduanya sama-sama tidak mempunyai penguat ( Murajjih ). Akan tetapi, keduanya dapat diambil sekaligus. Keempat, keduanya shahih, tidak mempunyai penguat ( Murajjih ) dan tidak mungkin mengambil keduanya sekaligus.

    Namum sebagaimana telah diterangkan sebelumnya tidak semua al-qur’an harus mempunyai sebab turun, ayat-ayat yang mempunyai sebab turun juga tidak semuanya harus diketahui sehingga, tanpa mengetahuinya ayat tersebut bisa dipahami, ahmad adil kamal menjelaskan bahwa turunnya ayat-ayat al-qur’an melalui tiga cara:

    Pertama ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan kepada nabi.
    Kedua ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa didahului oleh peristiwa atau pertanyaan.
    Ketiga ayat-ayat yang mempunyai sebab turun itu terbagi menjadi dua kelmpok;

    Ayat-ayat yang sebab turunnya harus diketahui ( hukum ) karena asbabun nuzulnya harus diketahui agar penetapan hukumnya tidak menjadi keliru.
    Ayat-ayat yang sebab turunnya tidak harus diketahui, ( ayat yang menyangkut kisah dalam al-qur’an).

    Kebanyakan ayat-ayat kisah turun tanpa sebab yang khusus, namun ini tidak benar bahwa semua ayat-ayat kisah tidak perlu mengetahui sebab turunnya, bagaimanpun sebagian kisah al-qur’an tidak dapat dipahami tanpa pengetahuan tentang sebab turunnya.
  2. Hikmah Mengetahui Asbabun Nuzul
Ulama ulum al-Qur'an sepakat akan pentingnya asbabun nuzul dalam penafsiran al-Qur'an. Pengetahuan akan asbabun nuzul banyak memberikan faedah, manfaat dan hikmah. Diantaranya :
1. mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara terhadap kepentingan umum dala menghadapi segala peristiwa, karena sayangnya terhadap umat.
2. menghususkan (membatasi) hukum yang diturunkan dengan sabab yang terjadi, bila hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Ini bagi mereka yang yang berpegang kepada "yang menjadi pegangan adalah sabab khusus".
3. apabila lafal yang diturunkan itu lafal yang umum dan terdapat dalil atas pengkhususannya, maka pengetahuan mengenai sabab nuzul membatasi pengkhususan itu hanya terhadap yang selain bentuk sabab.
4. mengetahui sabab nuzul adalah cara terbaik untuk memeahami makna al-Qur'an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui asbabun nuzul.
5. Menjelaskan hikmah yang dikaitkan dengan pensyariatan hukum.
6. Membuka rahasia-rahasia balagah dalamal-Qur'an.





Sejarah Al Qur’an

  1. Sejarah Al Qur’an Pada Masa Rasulullah
Pada zaman Rasulullah SAW dan pemerintahan Abu Bakar dan Umar, ilmu-ilmu Al-Quran belum dibukukan, karena umat islam belum memerlukannya. Sebab umat islam pada waktu itu adalah bangsa Arab asli sehingga mereka mampu memahami Al-Qur’an dengan baik, karena bahasa Al-Qur’an adalah bahasa mereka sendiri dan mereka mengetaahui sebab-sebab turunnya Al-Qur’an. Oleh karenanya jarang sekali sahabat yang bertanya kepada Nabi tentang maksud-maksud ayat.
Ayat Al-Qur’an tidak dikumpulkan atau dibukukan seperti sekarang. Karena disebabkan beberapa faktor, maka ayat Al-Qur’an mulai dikumpulkan atau dibukukan, yaitu dikumpulkan dalam satu mushaf. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa nabi hanya dilakukan pada dua cara yaitu dituliskan pada benda-benda seperti yang terbuat dari kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelepah kurma, tulang binatang dan lain-lain. Tulisan-tulisan dari benda-benda tersebut dikumpulkan untuk Nabi dan beberapa diantaranya menjadi koleksi para sahabat yang pandai baca tulis.
Rasulullah telah mengangkat para sahabat-sahabat terkemuka untuk menulis wahyu Al-Qur’an, yaitu: Ali, Muawiyah, Ubai bin K’ab dan Zaid bin Sabit, jika ayat turun ia memerintahkan mereka menulis dan menunjukan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembar itu membantu penghafalan didalam hati. Sebagian sahabat menuliskan Al-Qur’an yang turun itu atas kemauan sendiri, tanpa diperintah nabi.
Al-Qur’an turun kepada Nabi yang Ummi (tidak bisa baca-tulis) dan diutus Allah di kalangan orang-orang yang Ummi. Karena itu perhatian Nabi hanyalah menghafal dan menghayati agar beliau dapat menguasai Al-Qur’an yang diturunkan. Rasulullah sangat menyukai wahyu, beliau senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya. Seperti yang dijanjikan Allah:

Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya (al-Qiyamah: 17).
Proses turunnya Al-Qur’an terkadang turun hanya satu ayat dan kadang sampai sepuluh ayat. Setiap kali ayat turun kemudian dihafal didalam dada dan ditempatkan dalam hati. Bangsa arab secara kodratnya memunyai daya hafal yang kuat, karena umumnya mereka buta huruf.
  1. Pengumpulan Al-Qur’an
Ali bin Abi Thalib sebagai pengumpul pertama al Qur`an pada masa Nabi berdasarkan perintah Nabi sendiri. Di kalangan Syi`ah menegaskan Ali bin Abi Thalib sebagai orang pertama yang mengumpulkan al Qur`an setelah wafatnya Nabi. Sumber-sumber Sunni juga mengungkapkan bahwa Ali memiliki kumpulan al Qur`an. Di kalangan ortodok Islam, pengumpula al Qur`an dapat dilakukan secara resmi pada masa pemerintahan Abu Bakar al- Shiddiq. Al Khatthabi berkata, “ Rasulullah tidak mengumpulkan al Qur`an dalam satu mushaf karena senantiasa menunggu ayat yang menghapus terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasulullah maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafaur Rasyidin sesuai dengan janji-Nya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya”.
Pengumpulan pada masa Nabi cuma bisa dengan cara menghafal. Rasulullah sangat menyukai wahyu ia senantias menunggu turunnya wahyu dengan rasa rindu, lalu pada saat wahyu itu turun, Rasul langsung menghaal dan memahaminya.
Oleh sebab itu, ia adalah Hafidz (penghafal) pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok masalah dan risalah. Setiap kali ayat turun, dihafal dan di temptkan dalam hati, sebab bangsa arab secara kodrati mempunyai hafalan yang kuat.
Pada setiap kali Rasulullah menerima wahyu yang berupa ayat-ayat Al-Qur’an beliau membacanya didepan para sahabat, kemudian para sahabat menghafalkan ayat-ayat tersebut sampai hafal di luar kepala. Namun kemudian beliau menyuruh kuttab (penulis wahyu) untuk menuliskan ayat-ayat yang baru di terimanya itu. Mereka yang termasyhur adalah; Abu Bakar, Umar bin khatab, ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin khaab, zayd bin tsabit, az-zubayr bin Awwam, Mu’awiyah bin Abi sufyan, Al-arqam bin maslamah, Muhammad bin Maslamah, Abban bin Sa’it bin AL-‘As, Maslamah bin khalid, qais bin Shasha’ah, Tamim Al-Dari, Salamah bin Makhlad, Abu Musa AL-Asy’ari, Uqbah bin Amir, Ummu faraqah binti Abdillah binti Harits.
  1. Perkembangan Al-Qur’an
Pada masa nabi ilmu-ilmu al-quran belum di bukukan, karena umat islam belum memerlukannya serta ulumul quran masih belum ada, sebab pada waktu itu Rasulullah SAW masih hidup, sehingga jika terdapat suatu pertanyaan atau permasalahan mengenai al-Quran bisa ditanyakan langsung kepada Rasul kemudian diingat dalam pikiran dan hati para sahabat. Selain alasan di atas, belum adanya kebutuhan untuk menulis kitab-kitab tentang ulumul quran merupakan alasan di balik belum munculnya ulumul quran pada masa Nabi. Terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.

  1. PENULISAN AL-QUR`AN


  • Pada Masa Rasulullah
Ketika diturunkan satu atau beberapa ayat, Rasul saw langsung menyuruh para sahabat untuk menghafalkannya dan menuliskannya di hadapan beliau. Rasulullah mendiktekannya kepada para penulis wahyu. Para penulis wahyu menuliskannya ke dalam lembaran-lembaran yang terbuat dari kulit, daun, kaghid, tulang yang pipih, pelepah kurma, dan batu-batu tipis.
Mengenai lembaran-lembaran ini Allah SWT berfirman:
Rasuulun minallaaHi yatluu shuhufan muthaHHarah
Artinya:
(yaitu) seorang utusan Allah (yakni Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (al-Qur`an) (QS. Al-Bayyinah [98]: 2)
Rasulullah saw mengizinkan kaum muslimin untuk menuliskan al-Qur`an berdasarkan apa yang beliau diktekan kepada para penulis wahyu. Rasulullah saw bersabda:
Laa taktubuu ‘annii, wa man kataba ‘annii ghairal qur`aani falyamhuHu
Artinya:
Janganlah kalian menulis dari aku. Barangsiapa yang telah menulis dari aku selain al-Qur`an hendaknya ia menghapusnya. (HR. Muslim)
Rasulullah saw tidak khawatir dengan hilangnya ayat-ayat al-Qur`an karena Allah telah menjamin untuk memeliharanya berdasarkan nash yang jelas:
Innaa nahnu nazzalnadz dzikra wa innaa laHu lahaafizhuun
Artinya:
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr [15]:9)
Rasulullah saw gembira dan ridha dengan al-Qur`an sebagai mukjizat terbesarnya yang dapat digunakan sebagai hujjah terhadap orang-orang Arab maupun orang-orang di seluruh dunia.
Ketika Nabi saw wafat, al-Quran secara keseluruhan sudah tertulis pada lembaran-lembaran, tulang-tulang, pelepah kurma, dan batu-batu tipis, dan di dalam hafalan para sahabat ra.
  • Pada Masa Khalifah Abu Bakar r.a
Setelah Nabi Muhammad SAW. wafat dan Abu Bakar diangkat sebagai Khalifah maka banyak terjadi gerakan-gerakan yang menimbulkan perpecahan dan meresahkan umat islam, seperti gerakan keluar dari agama Islam yang dipimpin Musailamah Alkadzab, yang umat Islam sendiri dipimpin oleh Khalid bin Walid,  maka terjadilah peperangan, Setelah pertempuran Aqraba pada tahun 632 M, banyak penghafal Qur’an terbunuh. Sehingga Umar bin Khattab menyarankan kepada Abu Bakar suatu kebutuhan untuk menyusun Qur’an dalan suatu standard teks.
Pada mulanya usul Umar ini ditolak oleh Abu Bakar karena alasan hal tersebut tidak pernah dilakukan Nabi. Itu Bid’ah, katanya. Tapi setelah diyakinkan Umar atas manfaatnya bagi umat Islam, Abu Bakar setuju. Abu Bakar kemudian memerintahkan penyusunan agar dibuat oleh Zaid Ibn Thabit dari tulisan-tulisan yang ditulis pada daun palem, batu dan juga dari orang-orang yang hafal isi Alquran diluar kepala yang masih tersisa.
Dalam perang itu menimbulkan banyak korban dari pihak Islam yaitu 70 orang sahabat yang hafal Alquran terbunuh kemudian setelah kejadian itu mendorong umat agar Abu Bakar membukukan alquran dan kemudian diutuslah Zaid bin Tsabit sebagai penulis penghimpun Alquran.

Dalam melaksanakan tugasnya Zaid bin Tsabit berpegang pada 2 hal yaitu:

1. Ayat ayat Alquran yang ditulis pada masa Nabi Muhammad SAW disimpan di rumah beliau.
2.   Ayat ayat Alquran yang dihapal oleh para Sahabat lainnya yang hafidz Alquran.

 Zaid tidak  mau menerima tulisan ayat ayat Alquran, kecuali disaksikan oleh 2 orang saksi yang adil  dan meyakini bahwa ayat itu benar benar ditulis dihadapan Nabi Muhammad dan atas perintah dan petunjuknya.

Pengumpulan mushaf pada saat Abu Bakar dan dilanjutkan oleh Umar saat menjadi khalifah (kalifah kedua, 634-644 M), belum merupakan usaha kodifikasi yang serius. Mereka hanya mengumpulkan fragmen-fragmen Qur’an yang berserakan dari para sahabat, tetapi belum menyusunnya ulang dalam satu bentuk mushaf Qur’an yang utuh.


  • Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan r.a
Sahabat Hudzaifan pada masa pemerintahan Utsman menyarankan kepada beliau agar segera mengusahakan penyeragaman bacaan Alquran dengan cara penyeragman penulisannya. Hal itu disebabkan oleh perbedaan tentang bacaan Alquran.

   Utsman dapat menerima pemahaman atas usul Hudzaifah, kemudian di bentuk panitia yang terdiri dari 4 orang, yakni  terdiri dari:
1. Zaid bin Tsabit
2. Sa’id bin Ash
3. Abdullah bin Zubair
4. Abdurrahman bin Harits.
5. Ubay ibn Ka’ab.
6. Anas ibn Malik.
7. Abdullah Ibn Abbas
8. Malik Ibn Abi ‘Amir
9. Katsir Ibn Aflah


   Perbedaan pengumpulan mushaf Alquran pada masa Abu Bakar dan Ustman ada dalam hal motif dan caranya. Motif pengumpulan Alquran pada masa Abu Bakar adalah kehawatiran akan hilangnya Alquran karena banyak nya para huffadz yang gugur dalam peperangan, sedangkan motif pada masa Utsman adalah karena banyaknya perbedaan cara membaca Alquran, sedangkan dalam perbedaan dari segi cara, yaitu pada masa Abu Bakar ialah memindahkan tulisan atau catatan Alquran yang semula bertebaran pada kulit binatang, tulang, pelepah kurma dsb. kemudian dikumpulkan dalam mushaf dengan ayat dan surat yang tersusun serta terbatas pada bacaan yang tidak dimansuhk dan mencakup ke tujuh huruf (dialek) sebagai mana Alquran diturunkan. sedang cara pengumpulan yang dilalukan pada masa Utsman adalah menyalinnya dalam satu dialek dengan tujuan  untuk mempersatukan kaum muslimin.


  • Penyempurnaan Penulisan Al-quran Setelah Masa Khulafa Al-Rasyidin
Pada masa setelah khulafa Al – Rasyidin penulisan Al – Qur’an mengalami penyempurnaan dalam penulisannya, diantaranya :
1.Mushaf Utsmani itu tidak memakai tanda baca, baik titik maupun syakal, karena    semata mata di dasarkan pada watak pembawaan orang orang Arab yang masih murni.

2. Tetapi ketika Islam telah tersebar luas dan Alquran dibaca dan dipelajari umat Islam di luar orang Arab, maka para penguasa pada saat itu merasa perlu untuk mengadakan perbaikan dan penyempurnaan penulisan mushaf dengan menggunakan syakal, titik dll. orang yang pertama melakukan perbaikan terhadap penulisan Alquran, menurut pendapat sebagian ulama adalah Abdul Aswad Ad Duali (ulama ahli bahasa) atas perintah Ziad (Gubernur Basroh), masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

3.Sebab sebab pembuatan tanda baca Alquran adalah ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan mengajak bicara Abdullah bin Ziad (putra Ziad). namun pembicaraan Abdullah bin Ziad banyak yang salah dan kemudian mendapat teguran dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan.  dari teguran itu lah Ziad menyuruh kepada Abdul Aswad Ad Duali untuk memberi tanda baca.

4. Kemudian Abdul Aswad Ad Duali memerintahkan kepada laki-laki dari Qabilah Quraisy, dia menyuruh untuk memberi tanda baca dengan warna yang berbeda dengan tulisan mushaf, yaitu jika membuka bibir maka berilah tanda titik di atas huruf nya dengan sebuah titik, bila mendomahkannya dalam  (monyong) maka berilah tanda titik di depan huruf nya, bila mengkasrahkan (pecah) maka berilah tanda titik di bawahnya, bila membacakan suara tanwin maka berilah dua titik.

5. Akan tetapi tanda tanda baca yang di buat Abdul Aswad Ad Duali belum dapat menghindari kecederaan dalam membaca Alquran,  oleh sebab itu disempurnakanlah oleh Nashr bin Ashim yang kemudian di sempurnakan lagi oleh Khalil bin Ahmad (Ulama Abasiyah) dengan cara memberi tanda fatah denganا kecil, domah denganوkecil, kasrah denganىkecil ( yang dikenal dengan syakal), kemudian tasdyid dengan kepalaسdan tanda sukun dengan kepala" ه "  dsb.

6. Kemudian secara bertahap orang-orang mulai meletakan nama-nama surat dan bilangan ayat dan rumus-rumus yang menunjukan kepala ayat dan tanda-tanda wakof. tanda wakof ladzim dengan ( م ),  wakof mam’nu ( لا ),  wakof jaiz ( ج ), lalu pembuatan tanda juz, tanda hizb dan penyempurnaan lainnya.



  1. Berbagai Versi Mushaf pada masa sahabat

Beberapa mushaf yang sempat terekam dalam sejarah adalah mushaf milik Ubay bin Ka’ab, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ali bin Abi Thalib, dan Hafsah istri Nabi.Mushaf-mushaf itu memiliki jumlah dan susunan ayat yang berbeda. Sebagai misal Mushaf Ubay memiliki 115 surah, Mushaf Ibn Mas’ud memiliki 108 surah, Mushaf Ibn Abbas 116 surah.
Perbedaan ini terekam dari komplain Aisyah istri Nabi yang dikutip Jalaluddin Al-Suyuthi dalam kitab al-Itqan sebagai berikut: “pada masa Muhammad surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah Usman melakukan kodifikasi, jumlahnya menjadi seperti sekarang yakni 73 ayat.”Pada Mushaf Ibn Abbas juga ada dua surah yang yang tidak disertakan dalam Mushaf Usmani yaitu al-Khal dan al-Hafd.
Di samping itu, banyak sahabat yang mencatat ayat-ayat al-Qur’ān sejak masa Nabi, bahkan mereka mengumpulkannya dan menjadikannya sebagai mushaf. Catatan-catatan tersebut mereka simpan untuk mereka masing-masing, atau untuk mereka gunakan dalam pengajaran agama Islam. Mushaf-mushaf yang terkenal a.l. mushaf Ali bin Abi Thalib, mushaf Ubay bin Ka’ab, mushaf Abdullah ibn Mas’ud, mushaf Zaid ibn Tsabit, dll.
Masing-masing versi mushaf memiliki perbedaan, banyak atau sedikit, sebagai berikut:
1. Mushaf Ali bin Abi Thalib
Mushaf Ali bin Abi Thalib memiliki ciri khusus yang tidak dimiliki oleh mushaf lainnya. Karakter khusus mushaf ini adalah:
a. Ayat dan surat tersusun rapi sesuai dengan urutan turunnya, maka ayat-ayat makkiyah diletakkan sebelum ayat-ayat madaniyah, ayat-ayat yang turun masa awal diletakkan lebih dahulu dari pada ayat-ayat yang turun belakangan.
b. Bacaan yang tercantum dalam mushaf ini lebih mendekati keaslian sehingga lebih sesuai dengan bacaan Rasul;
c. Ada catatan tanzil dan takwil di tepi mushaf yang menjelaskan situasi dan kondisi serta latar belakang ayat-ayat al-Qur’an diturunkan. Penjelasan ini sangat berguna dalam menggali maksud ayat-ayat al-Qur’an diturunkan serta menyingkap makna-makna ayat yang masih samar.
Dari mushaf Ali ini sebenarnya banyak manfaat yang dapat digali, antara lain dapat diketahui perjalanan tasyri’ hukum, proses gradualisasi dakwah, dan pentahapan ajaran Islam, demikian pula proses nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an. Seandainya mushaf Ali ibn Abi Thalib ini masih ada saat ini tentu akan banyak problem dalam memahami al-Qur’an akan teratasi.

2. Mushaf Ibn Mas’ud
Mushaf Ibn Mas’ud memiliki ciri yang juga berbeda dari mushaf lainnya, yaitu:
a. Hanya memuat 111 surat dan minus surat al-Fatihah dan al-Mu’awwizatain (surat al-Falaq dan an-Nas).
b. Kata-kata dalam ayatnya banyak berbeda dengan kebanyakan catatan sahabat lain, karena menurutnya kata-kata al-Qur’ān boleh diganti dengan sinonimnya, baik untuk lebih menjelaskan maknanya, atau agar mudah dibaca orang suku tertentu.
c. Sebagian kata dalam ayat diganti dengan kata lain dengan maksud agar lebih jelas. Misalnya kata shauman (puasa) dalam surat Maryam ayat 26 diganti shamtan (diam), karena meksud ayat tersebut adalah nazar berpuasa untuk diam tidak berkata-kata.

3. Mushaf Ubay ibn Ka’ab:
a. Urutan surat berbeda dengan urutas mushaf Utsmani.
b. Jumlah surat lebih banyak, dengan tambahan surat al-Khal’u dan al-Hafdu yang keduanya memuat doa qunut, karena menurut Ubay kedua doa tsb termasuk yang diwahyukan.
     Doa Khal’u sbb:

اللهم انا نستعين بك ونستغفرك و نثني عليك الخير ولا نكفرك ونخلع

                                  Doa Khafdhu sbb:

بسم االله الرحمن الرحيم اللهم اياك نعبد ولك نصلي ونسجد واليك نسعى ونخفض 

c. Surat al-Fiil dan al-Quraisy disatukan karena dianggap satu surat dan tidak dimulai dengan Basmalah.
d. Surat az-Zumar diawali dengan “Hamim”, sehingga dalam al-Qur’ān terdapat 8 surat yang dimulai dengan “Hamim”.
e. Dalam mushaf Ubay ini banyak terdapat bacaan yang berbeda dengan bacaan masyhur, seperti beberapa kata dalam ayat-ayat tertentu diganti dengan kata-kata lain yang dianggap sinonim dan maknanya tetap sama.


Masih banyak mushaf lain yang krang terkenal, yang juga berbeda jika dibandingkan dengan mushaf Utsmani a.l. mushaf ‘Aisyah dan mushaf Anas ibn Malik.
Bentuk-bentuk perbedaan di antara mushaf sahabat berupa sistem penulisan, susunan/urutan, bacaan, jumlah surat dan ayat, serta tambahan atau pengurangan tertentu.
Demikianlah para sahabat memiliki mushaf masing-masing. Sahabat yang tidak memiliki catatan akan meminta bantuan agar dibuatkan sebuah naskah mushaf sesuai dengan yang diinginkan. Wilayah Islam yang semakin luas menyebabkan semakin banyak jumlah dan macam-macam mushaf. Apalagi kebutuhan umat Islam terhadap al-Qur’ān semakin meningkat. Perbedaan antar mushaf di atas disebabkan banyak faktor. Di samping memang banyak yang tidak memiliki hubungan kegiatan dan kerjasama dalam penulisan, sebab lainnya adalah karena perbedaan kemampuan dalam kegiatan penulisan, sehingga menyebabkan perbedaan dalam sistem, bacaan, susunan, dll.
Walaupun demikian, masing-masing mushaf di atas mendapatkan penghormatan tinggi di dunia Islam saat itu, sesuai dengan domisili sahabat yang menulis mushaf atau umat Islam yang mempelajarinya. Mushaf Abdullah ibn Mas’ud, misalnya, menjadi rujukan penduduk Kufah. Contoh lain adalah mushaf Ubay ibn Ka’ab yang banyak dipelajari dan dirujuk oleh penduduk Madinah. Demikian pula mushaf Abu Musa al-Asy’ari di Basrah dan Mushaf Miqdad ibn al-Aswad di Damaskus.

  1. Penyeragaman dan standarisasi Mushaf al-Qur’an

Dalam perkembangannya pada masa belakangan, jauh setelah era Nabi dan sahabat besar, perbedaan mushaf di atas menyebabkan sering terjadi perselisihan di kalangan masyarakat muslim yang fanatis terhadap mushaf dengan berbagai bacaan atau urutan surat yang ada di dalamnya. Tidak jarang satu sama lain sering saling menyalahkan, dan mengklaim bacaan al-Qur’ān versi mereka sebagai bacaan paling benar. Bahkan terjadi umat Islam yang salat berkelompok-kelompok  dalam satu masjid, sesuai dengan bacaan mushaf masing-masing. Situasi demikian berpotensi terjadinya perpecahan di antara umat Islam.
Catatan penting memperlihatkan perselisihan bahkan konflik banyak terjadi di kalangan orang-orang yang tidak tahu dengan sejarah masa Nabi dan sahabat. Padahal pada masa awal itu, pembacaan al-Qur’ān dan penulisannya sangat fleksibel dan moderat. Namun bagi orang belakangan yg tidak menyadari kelonggaran pada masa awal Islam dan kurangnya pengetahuan justru menganggapnya masalah dan perpecahan. Kondisi perbedaan demikian, terutama terjadi di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan di Madinah atau di Makkah, atau di kalangan umat Islam yang banyak masih baru memeluk Islam atau jarang bertemu dengan banyak sahabat Nabi yang lain. Misalnya dalam peperangan di Armenia, umat Islam bertengkar karena dalam salat ada yang membaca “Wa atimmul hajja wal ‘umrata lillah” dan ada yang membaca “Wa atimmul hajja wal ‘umrata lil bait”.
Situasi demikan, mendorong Huzaifah al-Yamani mengusulkan kepada Khalifah Utsman ibn ‘Affan agar menyatukan semua mushaf yang ada dan membaca mushaf tersebut hanya dengan satu macam bacaan. Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa para sahabat setuju dengan gagasan itu kecuali Ibn Mas’ud yang menolaknya.
Komite penyeragaman mushaf lalu dibentuk oleh Utsman di bawah pimpinan Zaid ibn Tsabit, seorang yang dianggap paling bagus tulisannya dan tergolong muda saat itu. Sedangkan Ibn Mas’ud yang merasa lebih banyak mengetahui tentang seluk beluk al-Qur’ān jelas tidak setuju dengan penyeragaman, apalagi ketika ibn Tsabit yang ditunjuk sebagai ketua komite. Ibn Mas’ud menilai penyeragaman hanya akan mematikan keleluasaan dan kemudahan umat dalam membaca dan memahami al-Qur’an yang telah dibolehkan oleh Nabi SAW sejak masa awal. Namun karena keputusan akhir dan kekuasaan ada di tangah Khalifah Utsman, maka upaya penyeragaman mushaf al-Qur’an terus dijalankan. Untuk mempermudah dan memperketat hasil, maka kegiatan tersebut dibimbing oleh Ubay ibn Ka’ab, Malik ibn Abi ‘Amir, Anas ibn Malik, dll.
            Penyatuan mushaf ini mulai terjadi pada tahun 25 H, pada tahun ke 2 atau ke 3 dari kekhilafahan Utsman. Hasilnya adalah tersusunnya mushaf standar yang menjadi acuan satu-satunya bagi seluruh umat Islam. Mushaf standar ini dinamakan Mushaf Utsmani atau Mushaf al-Imam. Semua mushaf lainnya yang berbeda dari mushaf standar ini harus dimusnahkan dengan cara dibakar
Ciri-ciri mushaf Utsman adalah:
1. Susunannya seperti yang banyak beredar saat ini, hanya ada perbedaan sedikit dengan beberapa mushaf sahabat dalam susunan atau urutan surat. Misalnya jika mushaf sahabat lainnya meletakkan Surat Yunus masuk dalam tujuh surat besar dan di urutuan ke-7, maka mushaf Utsmani menggolongkannya ke dalam kelompok Ma’in. Ini menunjukkan bahwa susunan al-Qur’ān yang ada saat ini adalah hasil ijtihad sahabat, dan bukan tauqifi dari Allah SWT atau Nabi SAW.
2. Tanda baca seperti titik dan harakat tidak ada, sehingga masih sulit membedakan huruf dan tata bahasa (i’rab dan wazan kalimat). Beberapa contoh kesalahfahaman dalam bacaan kalimat misalnya:
-       Sulit dibedakan “yablu, nablu, tablu, tatlu, yatlu, natlu
-       Sulit membedakan “ya’lamuhu, ta’lamuhu, na’lamuhu, bi’ilmihi’, dll.
-       Maka ayat “litakuuna liman khalfaka ayatan” sering dibaca “litakuuna  liman khalaqaka ayatan”.
-       “Nunsyizuha, Nunsyiruha, Tunsyiruha”. (Al-Baqarah: 259)
-       “Yuallimuhu, nu’allimuhu, ya’lamuhu, na’lamuhu”( S. Ali ‘Imran: 48)
-       “Nunajjika” atau :Nunahhika” (Yunus 92).
-       “Lanubawwiannahum” atau “lanubawwiyannahum”.

3. Tata tulisan tidak konsisten sebagai akibat kesalahan dalam imla’ dan penulisananya, misalnya :

-      الكتاب   kadang ditulis dengan الكتب  
-      الرحمان  banyak ditulis dengan dengan الرحمن  
الصلو ة – الزكوة  ditulis menjadi الصلاة – الزكاة-
-       اختلاف اليل و النهار  menjadiاختلف اليل و النهار 
-       Ada penulisan “basthah” dengan huruf sin, ada pula penulisannya dengan huruf shad menjadi “Bashthah”, demikian pula pada kata “Yabsuthu” ditulis dengan “Yabshuthu”, dll

Menurut Subhi Salih, “Berbagai keganjilan penulisan di atas bukan perintah dari Nabi atau hal yang bersifat Tauqifi. Hal itu juga tidak sama dengan huruf-huruf Muqatha’ah di awal surat yang memang mengandung misteri dan mutawatir. Semua kesalahan itu memang dilakukan oleh tim penulis yang dibentuk Utsman, baik atas peresetujuannya dan sepengetahuannya atau tidak”.

  1. Respon Nabi SAW Terhadap Perbedaan Bacaan al-Qur’an.

Pembacaan al-Qur’ān pada masa Nabi saw ternyata sangat dinamis, ada toleransi keragaman dan perbedaan dalam huruf, bunyi, ucapan, kata bahkan juga tulisan, sepanjang tidak mengubah maksud dan tujuan ayat itu sendiri.
            Maka perbedaan dalam pembacaan dan pencatatan al-Qur’ān yang menimbulkan keragaman mushaf memang ada dan terjadi di kalangan sahabat. Data bukti tersebut ditemukan dalam banyak dokumen otentik, baik dari hadis maupun kutipan para ulama dalam berbagai kitab tafsir dan ulum al-Qur’ān.
Hadis riwayat Imam Muslim berikut ini menjelaskan keragaman bacaan di kalangan sahabat dan sikap toleran Nabi dalam meresponnya:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُا سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَؤُهَا وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْرَأَنِيهَا فَكِدْتُ أَنْ أَعْجَلَ عَلَيْهِ ثُمَّ أَمْهَلْتُهُ حَتَّى انْصَرَفَ ثُمَّ لَبَّبْتُهُ بِرِدَائِهِ فَجِئْتُ بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَأْتَنِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسِلْهُ اقْرَأْ فَقَرَأَ الْقِرَاءَةَ الَّتِي سَمِعْتُهُ يَقْرَأُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ لِي اقْرَأْ فَقَرَأْتُ فَقَالَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ [
                       
Hadis di atas secara tegas menunjukkan kebolehan berbeda dalam membaca al-Qur’an berdasarkan pernyataan Nabi yang berbunyi “ ... sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dengan tujuh macam huruf (tujuh macam bahasa Arab) maka bacalah dengan cara yang mudah“.
Hadis-hadis semakna dan searah dengan hadis di atas hampir bernilai mutawatir karena sangat banyak jumlahnya. Berbagai hadis tersebut secara jelas membolehkan pembacaan al-Qur’an dengan berbagai bahasa Arab yang ada saat itu, baik Arab Quraisy atau lainnya.

Para ulama memberikan makna “tujuh huruf” dengan makna beragam, yaitu makna:
1.    Bacaan (Qiraat) seperti pendapat Ibn al-Jazari, misalnya dalam ungkapannya “Penduduk Syam ketika membaca al-Qur’ān, membacanya dengan bacaan (biharfi) Ibn ‘Amir”. Menurut Khalil ibn Ahmad, pendapat yang mengartikannya sebagai qiraat atau cara bacaan adalah lemah.
2.    Makna atau arah (al-makna wal jihat) seperti pendapat Muhamaad ibn Sa’dan an-Nahawi (w. 231 H).
3.    Tujuh macam ilmu, terutama tauhid dengan berbagai cabangnya.
4.    Tujuh macam pemaknaan al-Qur’ān, yaitu muthlaq - muqayyad, ‘amm - khas, nasikh – mansukh, mujmal – mufassar, dll.
5.    Banyak (Tujuh) makna yang sama (sinonim) pada kata-kata yang berbeda-beda. Misalnya kata “marilah” dalam bahasa Arab dapat berupa “aqbil”, “halumma” atau “ta’aal). Kata “asri’” atau ‘ajjil bermakna cepat. Demikian pula kata “Akhkhir, anzhir, atau amhil berarti tundalah. Pendapat ini sama dengan kebolehan periwayatan hadis secara makna sepanjang tidak merubah yang halal menjadi haram atau sebaliknya. Inilah pendapat Ibn Mas’ud dalam menulis mushafnya.


6.    Dialek (Lahjah) bahasa Arab, yaitu dialek Quraisy, Huzail, Tamim, Azd, Rabi’ah, Hawazin, dan Sa’d ibn Bakar. Jadi lafaz al-Qur’ān tetap satu, namun cara membacanya dapat berbeda-beda sesuai dengan tingkat kemudahan dan kesulitas. Inilah pendapat jumhur dan dianggap paling kuat. Pendapat ini merujuk kepada perintah Utsman yang memerintahkan agar menulis mushaf dengan lahjah Quraisy jika terjadi perbedaan. Misalnya kata Ikhsi’uu (rendahkanlah) dalam bahasa Arab umum dapat diganti dengan ukhzuu dalam dialek kabilah Azrah, Kata Laa taghluu  (Jangan melapauai batas) sama dengan laa tuziiduu dalam dialek bani Lakhm, atau kata Khaluu’an  (cemas) sama dengan dhajiiran dalam dialek.

Makna angka “tujuh” dalam hadis di atas masih diperdebatkan ulama tentang maksud dan batasnya. Sebagian ulama mengatakan tujuh huruf tsb bermakna batas maksimal sehingga tidak boleh lebih atau tidak bermakna lebih dari tujuh macam. Sebagian menyatakan angka tujuh tersebut sebagai batasan yang berarti al-Qur’ān hanya boleh dibaca dengan tujuh macam bacaan). Pembatasan ini merupakan pendapat jumhur. Sedangkan sebagian ulama lainnya memaknainya sebagai makna banyak, sehingga al-Qur’ān boleh dibaca dengan berbagai dialek Arab yang ada, tidak hanya tujuh dialek atau baacaan tetapi boleh lebih dari itu.


  1. ASUMSI TENTANG SEBAB-SEBAB PERBEDAAN MUSHAF

            Persoalan mengapa terjadi perbedaan dalam bacaan dan penulisan al-Qur’an (perbedaan mushaf) telah mendapat perhatian dan dijawab oleh kalangan ilmuwan muslim dengan berbagai pendekatan.
A. Pendekatan tradisionalis melihat perbedaan dalam bacaan dan tulisan al-Qur’an sebagai ketentuan dari Nabi atau bahkan langsung dari Allah SWT. Dalam pendekatan ta’abbudiy ini ada anggapan kuat bahwa berbagai tulisan al-Qur’an yang menyimpang dari kaidah standar bahasa Arab memang berasal dari Nabi, sebagaimana peletakkan urutan serta nama ayat dan surat juga berasal dari Beliau. Perspektif tradisionalis ini memang lebih banyak mengangkat aspek realitas namun cenderung tidak kritis karena kurang menggali latar belakang perbedaan dalam penulisan atau pembacaan al-Qur’an. Kelemahan lain dari pendekatan ini adalah kurang mengungkap nilai-nilai positif dan pemanfaatan perbedaan untuk menggali kekayaan dan kedalaman pemikiran Islam ke depan.  Kata shalat dan zakat dalam mushaf Utsmani misalnya ditulis dengan huruf waw, padahal kaidah standar menggunakan huruf alif. Namun ada yang meyakini penyimpangan seperti ini memang berasal dari Nabi SAW sehingga harus diikuti apa adanya. Bagi kalangan ini, dispensasi kebolehan berbeda dalam bacaan dan penulisan al-Qur’an hanya bersifat darurat, untuk sementara pada situasi saat itu saja, dan tidak berlaku lagi untuk masa dan orang-orang sesudahnya. Asumsi seperti ini ternyata banyak dipertahankan oleh banyak ulama tafsir atau penulis kitab-kitab ‘ulum al-Qur’an. Pendekatan dan pola pikir seperti ini tentu cenderung bersifat taqlid sehingga kurang mengembangkan inovasi dan kreatifitas umat  Islam. Pandangan tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Said Sukamta yang menyatakan bahwa kebolehan berbeda dalam bacaan atau tulisan al-Qur’an pada masa Nabi memang ada namun kebolehan itu bersifat terbatas dan darurat. Untuk saat ini tidak boleh ada perbedaasn lagi.
B. Pendekatan Kritis memandang perbedaan dan penyimpangan dalam bacaan atau penulisan al-Qur’an bukan sebagai hal yang alami, tetapi justru mencurigai memang ada unsur-unsur kesalahan di dalamnya. Kesalahan ini sangat mungkin dilakukan oleh tim penulis mushaf bentukan khalifah Utsman yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit atau juga dilakukan oleh individu sahabat tertentu ketika menulis mushaf untuk pribadinya. Kesalahan ini misalnya penulisan kata shalat dan zakat dengan huruf waw. Sedangkan hadis “Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf ...” dianggap sebagai hasil rekayasa untuk pembenaran terhadap kekeliruan yang terjadi. Pandangan dan sikap kritis seperti ini dikemukakan antara lain oleh beberapa intelektual dari Jaringan Islam Liberal atau JIL.
C. Pendekatan Fenomenologis melihat adanya perbedaan dalam bacaan atau penulisan al-Qur’an memang terjadi sejak zaman Nabi. Perbedaan tersebut ternyata memang dibolehkan secara langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Toleransi tersebut diberikan oleh Beliau dengan mempertimbangkan adanya perbedaan di kalangan umat Islam dalam hal pengetahuan, kemampuan atau bahasa dan perbedaan dialek bahasa Arab di kalangan sahabat itu sendiri. Bagi kalangan fenomenologis ini, kebolehan untuk berbeda dalam membaca al-Qur’an ini menunjukkan tingginya toleransi Nabi dalam menghadapi perbedaan di kalangan umat Islam. Perbedaan dalam hal yang sensitif saja, seperti bacaan dan tulisan al-Qur’an, oleh Beliau masih diberi kelonggaran, apalagi perbedaan dalam persoalan kecil lainnya yang tentu lebih dibolehkan. Pendekatan fenomenologis ini lebih tepat untuk menciptakan hubungan serasi dan harmonis di tengah berbagai perbedaan. Hal lebih penting lainnya adalah kemampuan pandangan fenomenologis ini dalam menciptakan kebebasan dan mendorong umat Islam untuk tetap kreatif dan inovatif dalam membangun peradaban, sebagaimana dicontohkan oleh keragaman banyak sahabat dalam menulis mushaf, dan sikap Nabi SAW yang tetap mengakomodir berbagai perbedaan tersebut.


  1. PENGARUH TERHADAP DINAMIKA PEMIKIRAN ISLAM

            Dua macam sikap sahabat dalam menanggapi perbedaan bacaan dan penulisan al-Qur’an ternyata dalam jangka panjang menunjukkan atau bahkan melahirkan dua macam pola pemikiran, yaitu:
  1. Pola pemahaman tekstual

Pola ini yang menganggap bacaan dan tulisan al-Qur’an harus seperti yang dibaca Nabi, atau harus sesuai dengan bahasa Arab Quraisy yang menjadi acuan mushaf Utsmani. Bacaan dan tulisan al-Qur’an harus ta’abbudiy, tidak boleh berbeda dari contoh yang ditulis dalam mushaf standar. Perbedaan dari ketentuan itu dianggap sebagai penyimpangan yang menyesatkan dan harus diberantas. Sikap seperti ini melahirkan pemikiran umat Islam yang sangat ketat dan kaku berpegang kepada teks (sumber tertulis) sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan dan cara untuk memperoleh kebenaran. Dalam sejarah hukum Islam, pemahaman seperti ini dikembangkan oleh aliran Ahl al-Hadis di wilayah Hijaz dengan imam Malik, al-Syafi’i, dan ulama ilmu riwayah lainnya sebagai tokohnya. Pola seperti inilah yang didengungkan oleh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan yang populer di kalangan umat Islam.

B. Pola pemahaman rasional – kontekstual

Pola ini memandang pembacaan dan penulisan ayat-ayat al-Qur’an tidak harus persis sama seperti yang tertulis dalam mushaf Utsmani. Dengan kata lain, pemahaman seperti ini membolehkan pembacaan al-Qur’an dengan bacaan lafaz dan dialek atau tulisan Arab yang berbeda dari mushaf Utsmani dengan syarat makna atau maksudnya tetap sama. Kebolehan ini memiliki dasar pijakan sebagaimana boleh meriwayatkan hadis Nabi secara makna (al-riwayah bil makna). Kebolehan pembacaan seperti ini tetap memiliki dasar rujukan karena masih mengacu kepada kebebasan yang pernah terjadi pada zaman Nabi dan era sahabat. Pola pemahaman rasional ini dalam sejarahnya berpusat di Iraq, yang dasar-dasarnya dibawa oleh sahabat Nabi bernama Ibn Mas’ud (Abdullah bin Mas’ud). Dari murid atau pengikut beliau inilah kemudian lahir ulama-ulama rasional dari kalangan tabi’in yang terkenal sebagai ulama Ahl al-Ra’yi. Perjalanan panjang sejarah Islam memperlihatkan wilayah Iraq, dengan pusat-pusat kota seperti Baghdad, Kufah dan Basrah, menjadi tempat subur lahirnya peradaban Islam dengan tokoh-tokoh intelektual muslim ternama masa itu, baik dalam bidang fiqh, kalam, filsafat, tasawuf, sains, dan sebagainya.